![]() |
| Dokpri ; Konsultasi Bareng Pak Budi Santoso MIN 2 Tegal |
Latar
Belakang
Pendidikan dasar memegang peran strategis
dalam sistem pendidikan nasional karena menjadi pondasi pembentukan
kepribadian, pola pikir, serta keterampilan hidup peserta didik. Pada jenjang
ini, siswa tidak hanya diajarkan kemampuan dasar seperti membaca, menulis, dan
berhitung, tetapi juga ditanamkan nilai-nilai moral, sosial, emosional, dan
spiritual. Ibarat pondasi sebuah bangunan, kualitas pendidikan dasar menentukan
kekokohan pendidikan di jenjang berikutnya.
Urgensi pendidikan dasar tercantum
dalam Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem
Pendidikan Nasional, yang menyatakan bahwa pendidikan adalah usaha sadar dan
terencana untuk mewujudkan suasana belajar serta proses pembelajaran agar
peserta didik secara aktif mengembangkan potensinya. Pendidikan bukan sekadar
transmisi pengetahuan, melainkan upaya pengembangan aspek intelektual,
emosional, sosial, dan spiritual peserta didik secara terpadu.
Proses pembelajaran, motivasi
belajar merupakan aspek penting yang menentukan keberhasilan siswa. Motivasi
bukan sekadar dorongan sesaat, melainkan kekuatan internal yang mendorong siswa
untuk terlibat aktif dalam aktivitas belajar. Tanpa motivasi, pembelajaran
menjadi pasif dan kurang bermakna. Sardiman menegaskan bahwa motivasi belajar
adalah dorongan internal yang menyebabkan seseorang bersemangat dan antusias
dalam belajar (Sardiman, 2018 : 75).
|
Namun, kenyataan di lapangan menunjukkan adanya masalah motivasi belajar di kalangan siswa sekolah dasar. Berdasarkan hasil wawancara yang dilakukan peneliti pada tanggal 17 April 2025 dengan Kepala Madrasah Ibtidaiyah Negeri (MIN) 2 Tegal, Amirudin, S.Pd.I, dan Guru Kelas V, Nisrina Arindita, S.Pd., ditemukan bahwa siswa di kelas V-B memiliki karakteristik yang cukup unik. Kelas tersebut relatif susah dikondisikan, ramai, dan menunjukkan motivasi belajar yang lebih rendah dibandingkan kelas lainnya. Guru kelas menyatakan telah berusaha maksimal namun merasa kesulitan dalam membangun suasana pembelajaran yang kondusif, menyenangkan, dan menyentuh aspek emosional siswa.
Kondisi ini bertolak belakang dengan
idealitas pembelajaran di sekolah dasar yang seharusnya berlangsung secara
aktif, menyenangkan, dan memotivasi siswa untuk belajar dengan dorongan dari
dalam diri (motivasi intrinsik). Ryan dan Deci (2020) menyatakan bahwa motivasi
intrinsik, seperti rasa ingin tahu dan kepuasan pribadi, lebih bertahan lama
dan berdampak positif terhadap pencapaian akademik daripada motivasi ekstrinsik
yang cenderung bersifat sementara.
Untuk menjembatani kesenjangan
antara kondisi ideal dan realitas tersebut, diperlukan strategi pembelajaran
yang tidak hanya berfokus pada aspek kognitif, tetapi juga menjangkau ranah
afektif siswa. Salah satu pendekatan yang relevan adalah hypnoteaching, yaitu metode pembelajaran yang menggunakan teknik
sugesti positif, afirmasi, relaksasi, dan visualisasi untuk menciptakan suasana
belajar yang nyaman dan memotivasi. Hypnoteaching bukan berarti
menghipnotis dalam arti negatif, melainkan menciptakan kondisi mental yang
tenang dan reseptif dalam menerima pelajaran (Yulianto, 2024: 26).
Triwidia Jaya (2010: 45) menegaskan
bahwa hypnoteaching sangat efektif
karena mengandalkan kekuatan komunikasi persuasif serta afirmasi positif yang
mampu membangun suasana kelas yang harmonis dan mendorong siswa lebih percaya
diri dalam proses belajar.
Keberhasilan metode hypnoteaching sangat bergantung pada
penggunaan bahasa positif. Bahasa
positif tidak hanya berupa kata-kata sopan, tetapi merupakan strategi
komunikasi yang secara sadar digunakan guru untuk membangkitkan semangat,
menumbuhkan rasa percaya diri, dan menciptakan lingkungan psikologis yang aman
bagi peserta didik.
Ungkapan seperti ;
“Ibu yakin kamu bisa,”
“Terima kasih sudah mencoba,” atau
“Coba lagi, ini adalah proses
belajar”
.merupakan contoh dari bahasa positif yang dapat memperkuat hubungan guru dan
siswa secara emosional.
Menurut Sari, Saadati, dan Sadli
(2019), penggunaan bahasa yang membangun secara psikologis dapat menciptakan
suasana batin yang nyaman dan menumbuhkan rasa dihargai. Hal ini sejalan dengan
temuan Rosyada, Widyastuti, dan Ramadhianti (2018) yang menyatakan bahwa
implementasi bahasa positif dalam ruang kelas secara efektif meningkatkan
motivasi belajar dan keterlibatan siswa.
Lebih lanjut, Rahman (2021: 289)
menyampaikan bahwa lingkungan belajar yang positif memiliki pengaruh signifikan
terhadap motivasi belajar dan hasil belajar siswa. Suasana kelas yang didukung
oleh komunikasi yang membangun mampu menstimulasi semangat siswa untuk lebih
aktif dan percaya diri dalam mengikuti proses pembelajaran.
Efektivitas pendekatan hypnoteaching yang terintegrasi dengan
bahasa positif juga dibuktikan oleh penelitian Amalia, Ermawati, dan Kuryanto
(2022) yang menunjukkan bahwa metode ini secara signifikan meningkatkan
motivasi belajar siswa sekolah dasar, khususnya pada mata pelajaran yang
dianggap sulit. Guru yang menggunakan teknik relaksasi dan afirmasi positif
dapat menciptakan suasana belajar yang menyenangkan serta meningkatkan rasa
percaya diri siswa.
Meskipun demikian, implementasi
metode hypnoteaching berbasis bahasa
positif di sekolah formal, khususnya madrasah, masih tergolong minim. Belum
tersedia modul pembelajaran yang secara sistematis menggabungkan
prinsip-prinsip hypnoteaching dan
bahasa positif sebagai satu kesatuan utuh yang mendukung pembelajaran berpusat
pada siswa.
Berdasarkan latar belakang tersebut,
peneliti memandang penting untuk mengembangkan modul pembelajaran hypnoteaching
berbasis bahasa positif sebagai alternatif strategis dalam meningkatkan
motivasi belajar siswa kelas V di Madrasah Ibtidaiyah Negeri (MIN) 2 Tegal.
Modul ini diharapkan dapat membantu guru dalam menciptakan proses pembelajaran
yang lebih komunikatif, menyenangkan, dan memanusiakan siswa melalui pendekatan
afektif yang mendalam dan penggunaan bahasa yang menguatkan.









